Tugas UAS EPTIK

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Konsep Dasar Etika Profesi Teknologi Informasi

A. Pengertian Etika

Istilah etika bermula jauh sejak masa Yunani kuno yang disebut dengan ethos. Dalam bahasa Yunani, ethos memiliki banyak penafsiran, seperti: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, habitat, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Makna-makna tersebut dikategorikan makna tunggal, sedangkan makna jamak dari ethos adalah adat kebiasaan. Oleh Aristoteles – seorang filsuf besar Yunani di era 384 – 322 SM – istilah etika sudah digunakannya untuk merujuk kepada filsafat moral. Maka secara sempit kita dapat memaknai istilah etika pada konteks ini adalah ilmu yang mempelajari tentang adat kebiasaan.

Seperti yang dikemukakan Ruslan (2011:31) “istilah ethos dimaknai sebagai watak kesusilaan atau adat kebiasaan, yang biasanya berkaitan erat dengan moral”. Moral sendiri berasal dari kata latin “mos”(jamaknya mores) yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan) dan menghindari tindakan-tindakan yang buruk. Dengan demikian maka etika dan moral memiliki kesamaan makna, namun pada dasarnya

Keduanya memiliki perbedaan pada implementasinya. Moral atau moralita digunakan untuk menilai perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika digunakan sebagai sistem nilai yang berlaku. Artinya, etika adalah ilmu untuk menjelaskan kaidah-kaidah moral.

Konsep etika sebagai ilmu juga ditekankan dalam buku yang ditulis Aristoteles “Etika Nikomacheia” yang menyatakan istilah terminius techicus yaitu etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. dan didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ditegaskan pula mengenai etika sebagai ilmu yaitu sebagai berikut:

  • Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);
  • Etika adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
  • Nilai mengenai benar dan salah  yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Menurut Ki Hajar Dewantara didefinisikan bahwa etika adalah ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan dan keburukan didalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai mengenai tujuan yang dapat merupakan perbuatan. Demikian pula Austi Fogothey dalam (Ruslan, 2011:32) menuliskan bahwa “etika berhubungan dengan seluruh ilmu pengetahuan tentang manusia dan masyarakat sebagai antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik dan hukum”.

Menurut Brooks (2007), “etika adalah cabang dari filsafat yang menyelidiki penilaian normatif tentang apakah perilaku ini benar atau apa yang seharusnya dilakukan”. Kebutuhan akan etika muncul dari keinginan untuk menghindari permasalahan – permasalahan di dunia nyata.

Semangat utama dalam menyusun konsep mengenai etika adalah prinsip reflektif dan instropeksi yang merupakan golden rule pergaulan antarmanusia yaitu: “Perlakukan orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan pula oleh orang tersebut”. Prinsip dasar ini akan memberikan kesadaran bahwa etika muncul ketika dua atau lebih orang saling menyepakati suatu konsensus bersama mengenai norma-norma sosial secara seimbang. Hal ini dibutuhkan karena setiap orang memiliki kepentingan yang unik dan bisa saja bertentangan dengan kepentingan orang lain. Disinilah dibutuhkan suatu nilai bersama yang menjadi jalan tengah bagi perbedaan kepentingan yang ada.

Secara umum, teori-teori mengenai etika berkembang atas dasar penalaran rasional yang terbatas kepada pencapaian kepentingan atau tujuan hidup manusia. Dalam kajian filsafat, terdapat banyak sistem atau teori mengenai etika tentang hakikat moralitas dan fungsinya dalam kehidupan manusia.

1)             Egoisme

Pada dasarnya setiap orang hanya akan memperdulikan kepentingan dirinya sendiri. Jika ada satu atau dua tindakannya memberikan keuntungan pada orang lain, maka itu bukan menjadi niat sebenarnya ia melakukan tindakan tersebut. Tindakannya memberikan manfaat kepada orang lain lebih didasari dengan pertimbangan bahwa perbuatannya itu pada akhirnya akan memberikan manfaat kepada dirinya sendiri.

2)             Hedonisme

Pada konsep ini, pada dasarnya dikatakan bahwa secara kodrati manusia mencari kesenangan dan berupaya menghindari ketidaksenangan. Secara logis perilaku dan tindakan manusia banyak didorong oleh kesenangannya. Standar moral dan etika akan baik apabila seseorang merasa senang dengan kondisi tersebut dan sebaliknya dikatakan etika atau moralnya tidak sejalan apabila kondisi yang ada menghadirkan ketidaksenangan. Dalam konteks ini maka tepat jika dikatakan bahwa hedonism sangat terkait dengan konsep egoism.

3)             Utilitarianisme

Teori ini menyatakan bahwa suatu tindakan dianggap baik apabila membawa manfaat bagi sebanyak mungkin anggota kelompok. Dengan demikian maka teori ini berprinsip bahwa tindakan harus dinilai benar atau salah hanya dari konsekuensi atau akibat yang terjadi dari suatu tindakan. Teori ini dianggap lebih relevan dengan norma-norma kebersamaan yang memiliki ragam kepentingan dibandingkan hedonisme dan egoism.

4)             Deontologi

Teori ini mewajibkan setiap orang untuk berbuat kebaikan. Berbeda dengan utilitarianisme, maka deontologi justru tindakan etis tidak berhubungan dengan tujuan atau konsekuensi atau akibat dari suatu tindakan. Intinya adalah, etis tidaknya suatu perbuatan lebih didasari pada maksud atau niat dari si pelaku perbuatan itu sendiri.

5)             Teonom

Pada teori ini perilaku etis dikaitkan dengan aspek religi. Dikatakan bahwa karakter moral manusia ditentukan secara hakiki oleh kesesuaiannya dengan kehendak Tuhan, dan perilaku manusia dianggap tidak baik bila tidak mengikuti perintah dan larangan Tuhan. Panduan perilaku etis pada perilaku ini tidak didasarkan pada norma bersama dalam suatu kelompok, namun lebih kepada panduan di dalam kitab-kitab suci.

B. Pengertian Profesi

Pada akhirnya tujuan dari proses pendidikan formal adalah mencapai sebuah profesi yang sesuai dengan minat dan kemampuan yang dimiliki, meskipun sering terjadi tidak semua orang bisa memperoleh profesi yang diidamkannya. Tingkat kompetisi yang tinggi membuat satu posisi diperebutkan oleh banyak orang, sehingga seleksi kualitas professional menjadi salah satu syarat yang tidak dapat dipungkiri lagi keberadaannya. Dunia kerja dewasa ini adalah dunia kerja para professional. Mentalitas professional  adalah mentalitas yang dibangun dari kesadaran bahwa setiap tanggung jawab yang dibebankan harus dapat dikerjakan dengan prinsip mutu terbaik dan dedikasi tertinggi.

Sejumlah pakar telah mendefinisikan mengenai profesi diantaranya adalah sebagai berikut:

  • Schein E.H. (1962), “Profesi adalah suatu kumpulan pekerjaan yang membangun sekumpulan norma yang sangat khusus yang berasal dari perannya yang khusus di masyarakat”.
    • Daniel Bell (1973), “Profesi adalah aktivitas intelektual yang dipelajari termasuk pelatihan yang diselenggarakan secara formal ataupun tidak formal dan memperoleh sertifikat yang dikeluarkan oleh sekelompok / badan yang bertanggung jawab pada keilmuan tersebut dalam melayani masyarakat, menggunakan etika layanan profesi dengan mengimplikasikan kompetensi mencetuskan ide, kewenangan ketrampilan teknis dan moral serta bahwa perawat mengasumsikan adanya tingkatan dalam masyarakat”.
    • Paul F. Comenisch (1983), “Profesi adalah “komunitas moral” yang memiliki cita-cita dan nilai bersama“.
    • T.H. Sigit (2012), “Profesi adalah kelompok lapangan pekerjaan yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan keterampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia, yang hanya dapat dicapai melalui penguasaan pengetahuan yang berhubungan dengan sifat manusia, kecenderungan sejarah dan lingkungan hidupnya, serta diikat dengan suatu disiplin etika yang dikembangkan dan diterapkan oleh para pelaku profesi tersebut”.
    • Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian. Dengan demikian, seorang professional adalah mereka yang melakukan profesinya secara tetap dan mempraktekkan suatu keahlian tertentu

Dari berbagai pendefinisian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa profesi merupakan suatu bidang pekerjaan yang didasarkan pada suatu kompetensi khusus, berbasis intelektual, praktikal dan memiliki standar keprofesian tertentu yang membedakannya dengan profesi lainnya.

Profesi merupakan pekerjaan penuh (full – time job) yang layanannya dibutuhkan oleh masyarakat/ konsumen/ pengguna untuk menyelesaikan masalah-masalah spesifik yang dihadapi seperti masalah hukum, medis, teknologi dan sebagainya.

(Puspitasari, dkk, 2012:9) “Orang yang melaksanakan profesinya dengan mengikuti norma dan standar profesi disebut sebagai professional. Sedangkan istilah profesionalisme menunjukkan ide atau aliran yang bertujuan mengembangkan profesi, agar profesi dilaksanakan oleh professional dengan mengacu kepada norma-norma, standar dan kode etik serta memberikan pelayanan terbaik kepada klien”.

Menurut DE George, “profesi adalah  pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian. Sedangkan profesional adalah orang yang mempunyai profesi atau pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan suatu keahlian yang tinggi”. Atau seorang profesional adalah seseorang yang hidup dengan mempraktekkan suatu keahlian tertentu atau dengan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang menurut keahlian, sementara orang lain melakukan hal yang sama sebagai sekedar hobi, untuk senang- senang, atau untuk mengisi waktu luang.

C. Pengertian Teknologi Informasi

Teknologi Informasi biasa disebut TI, IT (Information Technology) atau Infotech. Berbagi defines teknologi informasi telah diutarakan oleh beberapa ahli, diantaranya :

Haag dan Keen (1996), “Teknologi Informasi adalah seperangkat alat yang membantu anda bekerja dengan informasi dan melakukan tugas – tugas yang berhubungan dengan pemrosesan informasi”.

Martin (1999), “Teknologi Informasi tidak hanya terbatas pada teknologi komputer (perangkat keras atau lunak) yang digunakan untuk memproses dan menyimpan informasi, melainkan juga mencangkup teknologi komunikasi untuk mengirim informasi”.

Williams dan Swayer (2003), “Teknologi Informasi adalah teknologi yang menggabungkan komputasi (komputer) dengan jalur komunikasi berkecepatan tinggi yang membawa data, suara, dan video”.

D.Pengertian Kode Etik

Kita sudah menyinggung mengenai kode etik profesi pada bagian sebelumnya. Frasa ini sudah sangat sering kita dengar dalam keseharian, namun jarang dari kita yang benar- benar memahami apa sesungguhnya definisi dan makna yang terkandung dalam frasa kode etik ini. Dari kaidah bahasa frasa ini terdiri dari dua kata yaitu ‘kode’ dan ‘etik’. Kode merupakan tanda-tanda atau simbol-simbol yang berupa kata-kata, tulisan atau benda yang disepakati untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk menjamin suatu berita, keputusan atau suatu kesepakatan suatu organisasi. Kode juga dapat berarti kumpulan peraturan yang sistematis. Sementara frasa etik dan profesi sudah pernah kita bahas sebelumnya. Maka jika digabungkan, kode etik profesi merupakan sekumpulan peraturan yang sistematis yang mengatur perilaku dan tindakan para penyandang profesi.

Masing-masing penyandang profesi harus memahami betul tujuan kode etik profesi baru kemudian dapat melaksanakannya. Kode Etik Profesi merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik profesi merupakan lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang telah dibahas dan dirumuskan dalam etika profesi. Kode etik ini lebih memperjelas, mempertegas dan merinci norma-norma ke bentuk yang lebih sempurna walaupun sebenarnya norma-norma tersebut sudah tersirat dalam etika profesi. Dengan demikian kode etik profesi adalah sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan tegas serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan apa yang salah dan perbuatan apa yang dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang professional.

Sigit (2012:127) “mendefinisikan kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan professional tertulis yang secara tegas menyatakan hal-hal yang benar dan baik serta hal- hal yang tidak benar dan tidak baik bagi professional”. Secara formal, kode etik ini dirumuskan atau diterapkan secara resmi oleh asosiasi, organisasi profesi atau suatu lembaga/entitas tertentu.

Bertens (dalam Ruslan, 2011:69) “mengatakan bahwa kode etik profesi merupakan norma yang telah ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi dan untuk mengarahkan atau memberikan petunjuk kepada para anggotanya, yaitu bagaimana seharusnya (das sollen) berbuat sekaligus menjamin kualitas moral profesi yang bersangkutan di masyarakat untuk memperoleh tanggapan yang positif. Apabila dalam pelaksanaannya (das sein) ada anggota profesi melakukan perbuatan yang melanggar kode etiknya, maka secara keseluruhan kelompok profesi tersebut akan tercemar reputasinya di masyarakat.”

Kode etik profesi merupakan perumusan norma-norma dan nilai-nilai moral yang menjadi indikator perilaku (code of conduct) kelompok profesi tertentu. Kelompok profesi harus menaati kode etik tersebut, sekaligus mencegah pelanggaran serta berani menjatuhkan sanksi kepada setiap anggotanya yang melanggar. Sehingga kode etik ini baru bisa efektif dilakukan apabila dapat dijiwai oleh cita- cita dan nilai luhur yang hidup dalam profesi tersebut.

2.2. Tentang Cyber Crime

Internet disebut juga dengan istilah Net, Online, dan Web atau World Wide Web (WWW) sebagai ruang yang bebas dan menyediakan akses untuk layanan telekomunikasi dalam virtual reality serta sumber daya informasi untuk jutaan pemakainya yang tersebar diseluruh dunia. Sementara itu Agus Raharjo mendefinisikan “Internet sebagai jaringan komputer antar negara atau antar benua yang berbasis Protocol Transmission Control Protocol / Internet Protocol (TCP/IP)”. Kemudian The Federal Networking Council (FCN) memberikan definisinya mengenai internet dalam Resolusinya tanggal 24 Oktober 1995. Definisi yang diberikan adalah berikut :

  1. Is logically linked together by a globally unique address space based in the Internet Protocol (IP) or its bubsequent exstensions/follow-ons;
  2. Is able to support communications using the Transmission Control Protocol (TCP/IP) suite or its subsequent exstensions/follow-ons, and / or other internet protocol (IP)-comptible protocols, and
  3. Providers, uses or makes accessesible, either publicly or privately, high level services lauered on the communications and related infrastructure described herein.

Internet dalam konteksnya sebagai dunia maya tanpa batas, selain telah memutuskan sekat – sekat batas wilayah antar negara, juga telah menghilangkan kendala batas ruang dan waktu. Begitu banyak manfaat dan kegunaan internet dalam kehidupan, diantaranya berniaga (jual beli) secara online, membuka dan mencari lowongan kerja, berdiskusi, berbelanja, transfer uang, media kreatifitas, kuliah online, dan lain – lain. Ini merupakan wajah positif dari internet. Namun internet tidak lepas dari wajah negatifnya berupa pemanfaatan sebagai media untuk melakukan kejahatan yang dikenal dengan istilah cyber crime.

Cyber crime merupakan salah satu bentuk baru dari kejahatan di dunia modern yang berbasis kecanggihan teknologi (komputer/internet) yang bersifat universal dimensional dalam lingkup dunia maya yang berdampak negatif pada realitas kehidupan manusia yang sesungguhnya. Secara terminologis, kejahatan yang berbasis pada teknologi informasi sebagaimana terjadi saat ini, dapat disebut dengan beberapa istilah sebagaimana Barda Nawawi Arief mengutip pendapat Volodymyr Golubev yang menyebut “cyber crime sebagai the new form of anti-social behavior (bentuk baru dari perilaku anti-sosial)” (Arief, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, 2006). Istilah lainnya juga disebut sebagai kejahatan dunia maya (cyberspace/virtualspace offence), dimensi baru dari hitech crime, transnational crime, dan white collar crime (Arief, Tindak Pidana Mayantara : Perkembangan Kajian Cyber Crime Di Indonesia, 2006).

Menurut Wahid & Labib (2010) “Cyber crime sering diidentikkan dengan computer crime. The US Departement of Justice memberikan pengertian computer crime sebagai “any illegal act requiring knowledge of computer for its perpetration, investigation, or prosecution” (Setiap perbuatan melanggar hukum yang memerlukan pengetahuan tentang komputer untuk menangani, menyelidiki, dan menuntutnya)”.

Dampak dari cyber crime tidak saja dirasakan secara Nasional tetapi juga Internasional, yang dalam Palermo Convention Tahun 2000 ditetapkan bahwa kejahatan – kejahatan yang termasuk transnasional crime adalah : (1) Kejahatan Narkotika; (2) Kejahatan Genocide; (3) Kejahatan Uang Palsu; (4) Kejahatan di Laut Bebas; (5) Cyber Crime (Dikdik, Mansur, & Gultom, 2009).

A. Karakteristik Kejahatan Mayantara (Cyber Crime)

Cyber crime (Sinaga, 2010) “sebagai kejahatan yang muncul sebagai akibat adanya komunitas dunia maya di internet, memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan kedua model diatas”. Karakteristik unik dari kejahatan di dunia maya tersebut antara lain menyangkut 5 (lima) hal berikut :

  1. Ruang lingkup kajahatan,
  2. Sifat kejahatan,
  3. Pelaku kejahatan,
  4. Modus kejahatan,
  5. Jenis kerugian yang ditimbulkan.

Menurut Gema Cyber crime memiliki karakteristik yang khas dibandingkan kajahatan konvensional, yaitu antara lain :

  1. Perbuatan yang dilakukan secara illegal, tanpa hak atau tidak etis tersebut terjadi di ruang/wilayah maya (cyberspace), sehingga tidak dapat dipastikan jurisdiksi hukum negara mana yang berlaku terhadapnya,
  2. Perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan apapun yang bisa terhubung dengan internet,
  3. Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian materil maupun immaterial (waktu, nilai, jasa, uang, barang, harga diri, martabat, kerahasiaan informasi) yang cenderung lebih besar dibandingkan kejahatan konvensional,
  4. Pelakunya adalah orang yang menguasai penggunaan internet beserta aplikasinya,
  5. Pembuatan tersebut seringkali dilakukan secara transnasional/melintas batas negara.

B. Jenis – Jenis Kejahatan Mayantara (Cyber Crime)

Pada dasarnya, Dikutip dari makalah bahan diskusi seminar Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia kejahatan telematika (cyber crime) dapat digolongkan ke dalam :

  1. Kejahatan kerah biru (blue collar crime) : Kejaharan itu merupakan jenis kejahatan atau tindak kriminal yang dilakukan secara konvensional seperti misalnya perampokkan, pencurian, pembunuhan dan lain – lain.
  2. Kejahatan kerah putih (white collar crime) : Kejahatan jenis ini terbagi dalam 4 (empat) kelompok kejahatan, yakni kejahatan korporasi, kejahatan birokrat, malpraktek, dan kejahatan individu.

Dikemukakan oleh Ahmad Ma’arif jenis – jenis cyber crime secara umum ada 11 (sebelas) yaitu :

  1. Unauthorized Access.
  2. Illegal Content
  3. Penyebaran virus secara sengaja
  4. Data Forgery
  5. Cyber Espionage, Sabotage and Extortion
  6. Cyberstalking
  7. Carding
  8. Hacker dan Cracker
  9. Cybersquatting and Typosquatting
  10. Hijacking
  11. Cyber Terorism

C. Pengertian Carding

Carding adalah penipuan kartu kredit bila pelaku mengetahui nomor kartu kredit seseorang yang masih berlaku, maka pelaku dapat membeli barang secara online yang tagihannya dialamatkan pada pemilik asli kartu kredit tersebut, sedangkan pelakunya dinamakan carder (Indradi, 2006). Sebutan lain untuk kejahatan jenis ini adalah cyberfraud alias penipuan di dunia maya (Raharjo, 2002).

Menurut Ibrahim (2004), penyalahgunaan kartu kredit dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :

  1. Kartu kredit sah tetapi tidak digunakan sesuai peraturan yang ditentukan dalam perjanjian yang telah disepakati oleh pemegang kartu kredir dengan bank sebagai pengelola kartu kredit
  2. Kartu kredit tidak sah/palsu yang digunakan secara tidak sah pula.

Terminologi carding dalam bahasa formal atau bahasa hukum, digolongkan sebagai credit/debit card froud (penipuan menggunakan kartu kredit/kartu debit), yang menurut IFCC (Internet Fraud Complaint Center) yaitu salah satu unit di FBI yang menangani complain dari masyarakat berkaitan dengan cyber crime, adalah : “The unauthorized use of a credit / debit number can be stolen from unsecured web sites, or can be obtained in an identity theft scheme”(Penyalahgunaan kartu kredir/debet untuk menipu dalam mendapatkan uang atau property. Nomor kartu kredit dapat dicuri dari web site yang terjaga/tidak aman atau didapatkan melalui pencurian identitas).

D. Pengertian Spaming

Spam atau e-mail sampah merupakan problem bagi pengguna aplikasi internet mail saat ini. E-mail yang sering berisikan propaganda tersebut seringkali membuat pengguna internet  mail merasa dirugikan, karena banyak waktu dan sumber daya yang dikerahkan untuk memilah dan memisahkan antara spam dengan e-mail yang benar – benar dibutuhkan. E-mail spam sering juga disebut sebagai Unsolicited  Commercial  E-mail (UCE), hal ini dikarenakan sebagian besar email yang dikirimkan oleh spammer tersebut merupakan surat – surat elektronik yang berorientasi  profit  atau  komersil,  biasanya berisikan penawaran – penawaran jasa, barang, atau hal – hal yang dianggap menarik lainnya, padahal belum tentu dibutuhkan dan diinginkan oleh para penerimanya. Berikut adalah tipikal isi e-mail  spam yang umumnya sering dijumpai :

  1. Spam yang menawarkan produk obat – obatan atau kesehatan, misalnya e-mail yang menawarkan obat untuk memperbesar salah satu bagian tubuh anda atau obat yang diklaim mampu menurunkan berat badan secara drastis.
  2. Spam  yang menawarkan cara agar bisa cepat kaya.
  3. Spam yang menawarkan jasa atau produk keuangan,seperti penawaran peminjaman dana atau cara mengurangi tagihan hutang.
  4. Spam yang menawarkan jasa kemudahan – kemudahan pendidikan seperti beasiswa universitas atau mendapatkan gelar dengan biaya tertentu.
  5. Spam yang menawarkan jasa judi di Internet(On-Line Gambling).
  6. Spam yang menawarkan diskon untuk produk – produk tertentu atau menawarkan program – program aplikasi komputer (software) bajakan.

Pertumbuhan Spam yang semakin pesat dewasa ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan bisnis yang melihat adanya keuntungan besar dari fasilitas e-mail dalam mendukung kegiatan promosi usaha. Dengan spam, memungkinkan penawaran barang/iklan menjangkau jutaan potensial konsumen dengan biaya yang murah. Bersama dengan itu perbuatan spamming  sering sekali menimbulkan kerugian bagi pihak mail  recipients.  Banyak masalah ketidakefisienan yang berkaitan dengan e-mail muncul bersamaan dengan bertambahnya jumlah pengiklan yang menggunakan internet. Spam mendatangkan keuntungan besar pada sebagian masyarakat bisnis yang membutuhkan promosi dan iklan yang murah dan efektif. Seakan-akan Spam  dianggap sebagai mesin pencetak uang bagi kalangan bisnis profesional. Pertumbuhan UCE ini dapat diartikan sebagai pertumbuhan mesin penghasil uang bagi para spammer sedangkan di sisi pemilik akun email dianggap sebagai pertumbuhan e-mail yang sangat tidak diinginkan kedatangannya. Spam juga menimbulkan kerugian dan ketidaknyamanan yang diterima pihak lain. Secara garis besar kerugian – kerugian yang bisa ditimbulkan oleh spam adalah :

  1. Bagi user, spam yang berulang – ulang selain tidak enak dilihat, juga sangat membuang waktu dan biaya internet bagi pembaca atau pengguna.
  2. Tempat e-mail (Storage Mail-Box) yang tersedia harus lebih besar.
  3. Bagi pihak Penyedia layanan e-mail (email Service Provider), spam mengambil sebagian Bandwidth. Hal ini sangat mengganggu sebab bandwidth tidak dapat digunakan untuk kegiatan lain.
  4. Lebih mendalam lagi dapat dikatakan bahwa spam mulai sangat mengganggu ketenangan dan sekaligus mengusik privasi individu penerima e-mail, menghabiskan fungsi sarana komunikasi internet yang dimiliki pengguna internet dan seringkali isi pesan didalamnya dapat dikatakan jauh lebih mengganggu dibanding dengan model iklan biasa atau iklan melalui telepon.

E. Faktor Penyebab Terjadinya Cyber Crime

  1. Faktor Kesadaran Hukum Masyarakat

Apa yang dilakukan masyarakat akan berpengaruh besar terhadap potret penegakan hukum. Ketika salah seorang warga masyarakat terjerumus dalam perbuatan melanggar hukum, maka perilaku masyarakat ini sama artinya dengan menantang aparat penegak hukum untuk mengimplementasikan law in books menjadi law in action.

Fungsi hukum pidana di bidang teknologi informasi secara umum adalah mengatur kehidupan manusia dalam kaitannya dengan kegiatannya dalam dunia maya agar tercipta tatanan masyarakat yang tertib dan damai. Sedangkan fungsi khususnya adalah sebagai berikut :

  1. Melindungi kepentingan hukum seluruh anggota masyarakat, baik orang per orang, kepentingan hukum masyarakat, maupun kepentingan hukum negara (misalnya keamanan negara) dalam pemanfaatan teknologi informasi agar dapat mencapai kesejahteraan.
  2. Melindungi kepentingan hukum bagi setiap orang (manusia dan badan hukum) yang diduga atau telah terbukti menjadi pelaku kejahatan di bidang teknologi informasi.
  3. Melindungi korban tindak pidana di bidang teknologi informasi.

Sampai saat ini, kesadaran hukum masyarakat Indonesia akan fungsi tersebut dan dalam merespon aktivitas kejahatan mayantara masih dirasakan kurang. Hal ini disebabkan antara lain oleh kurangnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat terhadap jenis kejahatan mayantara. Kurangnya pengetahuan ini menyebabkan upaya penanggulangan kejahatan mayantara mengalami kendala dalam hal ini kendala yang berkenaan dengan penataan hukum dan proses pengawasan (controlling) masyarakat terhadap setiap aktivitas yang diduga berkaitan dengan tindak pidana mayantara.

Melalui pemahaman yang komprehensif mengenai kejahatan mayantara, peran masyarakat menjadi sangat penting dalam upaya pengawasan. Namun ketika masyarakat memiliki pengetahuan yang minim maka peran mereka akan menjadi mandul. Misalnya, dalam masyarakat yang memiliki pengetahuan minim tentang kejahatan mayantara datang seorang mahasiswa yang membawa seperangkat komputer dan di tempatnya yang baru ini si mahasiswa memesan barang-barang mewah melalui carding. Oleh karena masyarakat tidak mengetahui dan memahami carding, maka tidak ada kecurigaan atas perbuatan si mahasiswa ini, bahkan sebaliknya masyarakat cenderung terkesan dengan pola tingkah mahasiswa dimaksud.

2. Faktor Keamanan

Rasa aman tentunya akan dirasakan oleh pelaku kejahatan mayantara pada saat menjalankan aksinya. Hal ini tidak lain karena nternet lazim dipergunakan di tempat-tempat yang relati tertutup, seperti di rumah, kamar, tempat kerja, perpustakaan bahkan warung internet (warnet). Akivitas yang dilakukan oleh pelaku di tempat-tempat tersebut sulit untuk diketahui oleh pihak luar. Akibatnya, pada saat pelaku sedang melakukan tindak pidan mayantara ini sangat jarang orang luar mengetahuinya. Hal ini sangat berbeda dengan kejahatan-kejahatan yang sifatnya konvensional, yang mana pelaku akan meudah diketahui secara fisik ketika sedang melakukan aksinya.

Begitu pula, ketika pelaku sedang beraksi di tempat terbuka, tidak mudah orang lain mengetahui aksinya. Misalnya di warnet yang tidak mempunyai penyekat ruangan, sangat sulit bagi orang awam untuk ngetahui bahwa seseorang sedang melakukan tindak pidana. Orang lain akan beranggapan bahwa pelaku sedang menggunakan komputer untuk keperluan biasa, padahal sebenarnya ia sedang melakukan kejahatan. Kondisi ini akan membuat pelaku menjadi semakin berani. Di samping itu, apabila pelaku telah melakukan tindak pidana, maka dengan mudah pelaku dapat menghapus semua jejak kejahatan yang telah dilakukan mengingat internet menyediakan fasilitas untuk menghapuskan data/file yang ada. Akibatya pada saat pelaku tertangkap sukar bagi aparat penegak hukum untuk menemukan bukti-bukti kejahatan.

3. Faktor Budaya Hukum

Budaya hukum dapat diartikan sebagai sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai serta harapannya (Lawrence M Friedman: 1969). Sebagaimana dikutip Hein Wangania, Friedman juga membedakan budaya hukum menjadi budaya hukum internal dan eksternal. Budaya hukum internal merupakan budaya hukum dari warga masyarakat yang melaksanakan tugas-tugas hukum secara khusus, seperti polisi, jaksa, dan hakim. Sedangkan budaya hukum eksternal merupakan budaya hukum masyarakat pada umumnya.

Blankenburg mengemukakan budaya hukum juga merupakan keseluruhan sikap, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berkaitan dengan hukum. Budaya hukum itu sendiri adalah sebagai sub-budaya yang bertalian dengan penghargaan dan sikap tindak manusia terhadap hukum sebagai realitas sosial.

Budaya tidak sekedar berarti kumpulan bentuk tingkah laku dan pemikiran yang saling terlepas akan tetapi budaya diartikan sebagai kategori sisa sehingga didalamnya termasuk keseluruhan nilai sosial yang berhubungan dengan hukum, berikut sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum, termasuk didalamnya rasa hormat atau tidak hormat kepada hukum, kesediaan orang untuk memilih cara-cara informal untuk menyelesaikan suatu sengketa. Termasuk pula ke dalam budaya hukum adalah sikap-sikap dan tuntutan-tuntutan terhadap hukum yang diajukan oleh kelompok-kelompok etnis, ras, agama, lapangan pekerjaan dan kelas-kelas sosial yang berbeda-beda.

Budaya hukum merupakan tanggapan yang bersifat penerimaan atau penolakan terhadap suatu peristiwa hukum, ia menunjukkan sikap perilaku manusia terhadap masalah hukum dan peristiwa hukum yang terbawa ke dalam masyarakat.

Salah satu akar masalah ini penyebab terjadinya kejahatan mayantara (cybercrime) sebenarnya adalah sikap budaya para pelaku hukum di negara kita. Di satu pihak kita selalu menempatkan hukum sebagai bagian dari nilai-nilai yang ideal dari masyarakat kita. Sikap ini tentu saja bukanlah sikap yang tidak terpuji, secara tak sadar kita menempatkan hukum dalam sebuah menara gading. Jauh dari realitas kehidupan masyarakat sehari-hari. Padahal hukum, sebagai suatu gejala sosial sebenarnya harus realistis, membumi, memecahkan persoalan kemasyarakatan yang dihadapinya.

4. Faktor Penegak Hukum

Faktor penegak hukum sering menjadi penyebab maraknya kejahatan siber (cybercrime). Secara umum penyidik masih sangat minim dalam penguasaan operasional komputer dan pemahaman terhadap komputer serta kemampuan melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus itu. Beberapa faktor yang sangat berpengaruh (determinan) adalah: (Situmorang, 2014)

  1. Kurangnya pengetahuan tentang komputer
  2. Pengetahuan teknis dan pengalaman para penyidik dalam menangani kasuskasus cybercrime masih terbatas
  3. Faktor sistem pembuktian yang menyulitkan para penyidik.

Selain itu perlu juga diketahui bahwa dalam melakukan penyidikan terhadap kejahatan mayantara (cybercrime), Kepolisian maupun penyidik dari Pegawai Negeri Sipil harus berkoordinasi dan dapat meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam melakukan penyidikan, bahkan Kepolisian dan penyidik dari Pegawai Negeri Sipil tersebut dapat meminta bantuan dari penyidik negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti.

Tinggalkan komentar